Alkisah, di tanah Bengkalis hiduplah seorang pemuda bernama Bujang Enok. Ia hidup miskin dan sebatang kara, tak berayah, tak beribu, tak juga bersaudara. Namun, ia adalah pemuda yang baik dan pemurah hati. Pekerjaan sehari-harinya mencari kayu api di dalam hutan, yang kemudian dijualnya ke pasar atau ditukarkannya dengan beras dan keperluan hidupnya yang lain.
Suatu pagi,
Bujang Enok sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba ia dihadang seekor ular
berbisa. “Ssssss……Ssssss…..”, ular itu berdesis menjulur-julurkan lidahnya ke
arah Bujang Enok. Melihat ular itu, Bujang Enok berusaha menghalaunya dengan
baik, namun tidak juga mau pergi. Lalu ia pun mendiamkannya. Ketika ia diamkan,
ular itu justru hendak mematuk Bujang Enok. Dengan terpaksa, Bujang Enok pun
melecutnya dengan semambu (tongkat rotan), pusaka peninggalan almarhum ayahnya.
Sekali lecut, ular berbisa itu pun menggeliat, lalu mati. Setelah melihat tak
bergerak lagi, Bujang Enok segera mengubur ular itu di pinggir jalan. Setelah
itu, ia pun mulai mengumpulkan kayu api. Ketika akan memulai pekerjaannya, ia
mendengar suara perempuan sedang bercakap-cakap. “Ular berbisa itu telah mati”,
kata sebuah suara perempuan dari arah lubuk di hulu sungai. “Syukurlah, kita
tidak akan diganggu ular itu lagi”, sahut suara perempuan lainnya. Semakin
lama, suara-suara tersebut semakin jelas terdengar oleh Bujang Enok, namun ia
tidak menghiraukan suara tersebut, dan ia terus melanjutkan pekerjaannya
mengumpulkan kayu api.
Pada saat
tengah hari, seperti biasanya Bujang Enok pulang ke pondoknya. Ketika dia masuk
ke dapur pondoknya, Bujang Enok merasa heran, karena di dapurnya telah tersedia
nasi dan segala lauk pauk yang lezat rasanya. Karena lapar yang tak tertahan,
ia pun langsung melahap semua hidangan yang tersaji itu. Sambil menikmati
kelezatan makanan itu, Bujang Enok menebak-nebak dalam hati, “Ibuku sudah
meninggal dunia, aku pun tak punya saudara, tetanggaku juga sangat jauh dari
sini. Lalu, siapa ya…..yang menghidangkan makanan ini?”. Pikiran-pikiran itu terus
berkecamuk dalam benaknya. Karena penasaran, ia pun berniat untuk mencari tahu
orang yang menghidangkan makanan itu.
Keesokan
harinya, Bujang Enok melaksanakan niatnya untuk mencari tahu orang yang telah
berani masuk ke dalam pondoknya. Hari itu ia memutuskan tidak pergi ke hutan.
Dari pagi hingga siang ditunggunya orang yang masuk ke pondoknya. Bujang Enok
menunggu di antara semak-semak yang berada tak jauh dari pondoknya. Menjelang
tengah hari, tiba-tiba dari arah lubuk, datang tujuh gadis jelita. Mereka
datang beriring-iringan dan menjunjung hidangan, lalu masuk ke dalam pondok
Bujang Enok. Ketujuh gadis itu mengenakan selendang berwarna pelangi. Namun
dari ketujuh gadis itu, gadis yang berselendang warna jinggalah yang paling
cantik. “Waw, cantik sekali gadis yang berselendang jingga itu?”, gumam Bujang
Enok sambil mengawasi gadis itu hingga hilang dari pandangannya.
Tak lama
kemudian, ketujuh gadis itu keluar dari pondok Bujang Enok, dan berjalan ke
arah lubuk hulu sungai. Dengan langkah hati-hati, Bujang Enok membuntuti
ketujuh gadis jelita itu hingga ke pinggir lubuk hulu sungai, lalu bersembunyi
di rimbunan semak-semak. Di balik semak-semak itu, Bujang Enok dapat melihat
ketujuh gadis itu tengah berganti pakaian yang akan mandi. Masing-masing gadis
itu menyangkutkan selendangnya pada sebuah ranting kayu. Mereka mandi sambil
bersendau gurau, hingga tak menyadari kehadiran Bujang Enok yang tak jauh dari
tempat mereka mandi. Suasana yang ramai itu, digunakan Bujang Enok untuk
mengambil selendang yang tergantung di ranting. Dari balik semak-semak, Bujang
Enok mengaitkan sebuah tongkat ke selendang yang berwarna jingga. Kemudian ia
menariknya dengan pelan-pelan, lalu meraih selendang itu dan menyembunyikan di
balik bajunya. Setelah itu, ia pun kembali bersembunyi di balik semak-semak.
Setelah selesai
mandi, ketujuh gadis itu naik ke tepi lubuk lalu berganti pakaian.
Masing-masing mengambil dan mengenakan selendangnya yang tergantung di ranting.
Namun, di antara ketujuh gadis itu ada seorang gadis yang kehilangan selendang.
“Selendang saya di mana?, tanya gadis itu sambil mencari-cari selendangnya yang
hilang. Namun, tak seorang pun temannya yang tahu keberadaan selendang itu.
Lalu, gadis itu meneruskan pencariannya, dibantu keenam gadis lainnya. Setelah
beberapa lama mereka mencari, tapi selendang jingga itu tak kunjung ditemukan.
Menjelang sore, keenam gadis yang telah mengenakan selendang, tiba-tiba menari
dan kemudian melayang-layang terbang ke angkasa meninggalkan gadis yang
kehilangan selendang itu seorang diri di tepian lubuk. Sementara itu, Bujang
Enok tercengang-cengang menyaksikan peristiwa itu dari balik semak-semak.
Bujang Enok terus memandangi keenam gadis itu tanpa berkedip sedikit pun. Makin
tinggi terbang ke angkasa, makin kecil keenam gadis itu terlihat. Sampai
akhirnya mereka menghilang dari pandangan Bujang Enok.
Setelah itu,
Bujang Enok keluar dari persembunyiannya dan menghampiri gadis yang sedang
mencari-cari selendangnya. “Apa yang kau cari, wahai gadis cantik?” tanya
Bujang Enok. “Tuan, apabila Tuan mengetahui selendang berwarna jingga, hamba
mohon kembalikanlah selendang itu,” pinta Gadis itu sambil menyembah. Bujang
Enok menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata: “Saya bersedia mengembalikan
selendang jingga milik Tuan Putri, tetapi dengan syarat, Tuan Putri bersedia
menikah dengan saya,” kata Bujang Enok. “Ya, saya berjanji bersedia menikah
dengan Tuan, asalkan Tuan sanggup berjanji pula, apabila saya terpaksa harus
menari, berarti kita akan bercerai kasih,” kata gadis jelita itu dengan tulus.
“Baiklah, saya bersedia mengingat janji itu. Nama saya Bujang Enok,” jelas
Bujang Enok memperkenalkan dirinya. “Nama saya Mambang Linau,” kata gadis
jelita itu membalasnya. Sejak saat itu, mereka menjalin cinta kasih dalam
sebuah bahtera rumah tangga. Bujang Enok dan Mambang Linau hidup bahagia, rukun
dan berkecukupan.
Sejak menikah
dengan Mambang Linau, Bujang Enok semakin terkenal di kampungnya dengan sifat
pemurahnya. Kepemurahan hati Bujang Enok itu terdengar oleh Raja yang berkuasa
di negeri itu. Kemudian sang Raja pun memanggil Bujang Enok menghadap kepadanya
untuk diangkat menjadi Batin (Kepala Kampung) di kampung Petalangan. Bujang
Enok pun datang ke istana. Setelah di hadapan Raja, “Ampun, Baginda! Ada apa
gerangan Baginda memanggil hamba?”, tanya Bujang Enok sambil memberi hormat.
“Wahai Bujang Enok, bersediakah kamu saya jadikan Batin di kampung
Petalangan?‘, sang Raja bertanya pula. “Ampun, Baginda! Jika itu kehendak
Baginda, dengan senang hati hamba bersedia menjadi Batin”, jawab Bujang Enok
pelan sambil memberi hormat. Kesediaan Bujang Enok menjadia Batin membuat sang
Raja senang. Beberapa hari kemudian, Bujang Enok pun dilantik menjadi Batin di
kampung Petalangan.
Sejak menjadi
Batin, Bujang Enok pun menjadi salah seorang kepercayaan sang Raja. Setiap
mengadakan pesta, sang Raja selalu mengundang Bujang Enok. Suatu hari, sang
Raja mengadakan pesta di istana. Dalam pesta itu wajib diisi dengan tari-tarian
yang dipersembahkan oleh dayang, istri pembesar istana, istri para penghulu dan
kepercayaan raja, termasuk istri Bujang Enok, Putri Mambang Linau. Setelah
acara dimulai, satu persatu para istri mempersembahkan tarian mereka. Putri
Mambang Linau yang sedang menyaksikan pertunjukan tarian itu, mulai
berdebar-debar. Dalam hatinya, “Jika aku ikut menari, berarti aku akan bercerai
dengan Suamiku”. Baru saja ia selasi bergumam, tiba-tiba, “Kami persilakan
Putri Mambang Linau,” titah Raja diiringi tepuk tangan para hadirin. Mendengar
titah sang Raja, hatinya pun semakin berdebar kencang. Bujang Enok yang duduk
di sampingnya menoleh ke arah istrinya, “Wahai adinda Mambang Linau, kakanda
menjunjung tinggi titah raja,” bisik Bujang Enok. Mambang Linau mengerti maksud
bisikan suaminya, lalu menjawab “Demi menjunjung titah raja dan rasa syukur
atas tuah negeri, saya bersedia menari,” jawab Mambang Linau seraya mengenakan
selendang berwarna jingga dan kemudian menuju ke atas pentas.
Sebelum memulai
tariannya, Putri Mambang Linau terlebih dahulu melakukan gerakan-gerakan
persembahan untuk menjaga tata kesopanan dalam istana dan menghormati sang
Raja. Setelah itu, ia pun mulai menari layaknya seekor burung elang. Ia
melambaikan selendangnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya
diangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba-tiba Mambang Linau meliukkan
badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju
kayangan. Semua yang hadir terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sejak
itu, Putri Mambang Linau tidak pernah kembali lagi. Sejak itu pula, Batin
Bujang Enok bercerai kasih dengan Putri Mambang Linau. Betapa besar pengorbanan
Bujang Enok. Ia rela bercerai dengan istrinya demi menjunjung tinggi titah sang
Raja. Menyadari hal itu, sang Raja pun menganugerahi Bujang Enok sebuah
kehormatan yaitu dilantik menjadi Penghulu yang berkuasa di istana. Dari
peristiwa ini pula lahir sebuah pantun yang berbunyi:
Ambillah seulas
si buah limau
Coba cicipi di
ujung-ujung sekali
Sudahlah pergi
si Mambang Linau
Hamba sendiri
menjunjung duli
Setelah
peristiwa itu, Raja Negeri bertitah bahwa untuk menghormati pengorbanan Bujang
Enok, maka setiap tahun diadakan acara tari persembahan. Tarian ini mengisahkan
Putri Mambang Linau sejak pertemuan sampai perpisahannya dengan Bujang Enok.
Karena gerakannya menyerupai burung elang yang sedang melayang (elang babegar),
maka tarian itu dinamakan tarian elang-elang. Kini, masyarakat Riau lebih
senang menyebutnya tari olang-olang. Tarian olang-olang ini biasanya dimainkan
dengan diiringi oleh gendang (gubano) rebab, calempong dan gong. Tarian ini dapat
dijumpai di kecamatan Siak dan Merbau, kabupaten Bengkalis, Riau, Indonesia.
CERITA RAKYAT
RIAU
Sumber:
Legenda Puteri Mambang Linau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2005.
Budaya Tradisional Bengkalis. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan Pusat Pengajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu UNRI (P2BKM-UNRI).
Sumber:
Legenda Puteri Mambang Linau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2005.
Budaya Tradisional Bengkalis. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan Pusat Pengajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu UNRI (P2BKM-UNRI).
0 komentar:
Posting Komentar